Jumat, 02 November 2012

Dokter? ah..


Ini tentang cita cita.
Ketika kecil dulu, aku mudah sekali tertarik pada sesuatu lalu mengagumi bahkan kadang ingin menjadi sesuatu itu.
      Saat TK dan SD ketika ditanya "Kalo gede mau jadi apa?" dengan lantang kujawab "tentara!!"
Aku dulu menganggap bahwa tentara adalah pekerjaan paling keren sedunia. Berbadan tegap, sigap, bersenjata, dan siap menumpas kejahatan. Tapi, lama kelamaan sirnalah cita citaku itu, begitu aku sangat trauma dengan demo 1998 dan kejadian perang timur tengah yang aku lihat di televisi. Darah dimana dimana,  senjata..ah begitu kejam dan brutal. aku tak mau jadi tentara.
       Saat beranjak SMP lalu SMA, pikiranku mulai berubah. Ketika ditanya "cita citamu apa?" dengan mantap kujawab "dokter !!" . Dokter, ah..pikiranku langsung menerawang. Menurutku yang saat itu masih sangat polos, dokter merupakan pekerjaan paling indah dan mulia yang paling ada, bergengsi pula. Aku berfikiran, ketika menyandang gelar dokter, kita adalah orang yang disorot, berkedudukan, mantu idaman, intelek yang sangat dihargai, hidup begitu mudah dan nyaman, pokoknya perfect lah. Mengetahui orangtuaku pun tak keberatan dengan cita citaku ini, maka tak ragu aku menyatakan bahwa aku ingin jadi dokter suatu saat.

Singkat cerita, aku pun tembus tes masuk perguruan tinggi dan masuk jurusan yang aku impikan tadi, kedokteran. Suka cita dan euforia menyelimutiku di awal awal masuk kuliah, merasa sebagai mahasiswa paling oke sedunia..hah. Aku saat itu selalu bangga dengan titelku sebagai mahasiswa kedokteran. Merasa pintar, merasa paling hebat. Dan waktu terus berjalan.

Kini aku telah masuk semester 3. Ketika aku mulai menyelam ke dalam blok blok klinis, aku mulai menyadari satu hal. Aku itu hanyalah "seonggok" manusia yang luarbiasa bodohnya. Kata kata dan pikiranku dahulu tentang dokter dan kedokteran yang super itu tampaknya harus kubuang jauh jauh ke tong sampah. Menjadi mahasiswa di fakultas kedokteran ternyata tak semudah yang kubayangkan. Hasil yang dirasakan secara keilmuan pun ternyata sangat bergantung pada diriku sendiri. Aku yang sok pintar dan jumawa ini ternyata masih sangat jauh dari kata pandai. Di kampus, aku termasuk orang yang susah payah hanya untuk mendapatkan nilai B. Mungkin karena aku beranggapan bahwa aku paling pintar dan hebat. Mungkin juga karena kurang bersyukur dan rendah hati. Wawasan dan keilmuanku bisa dikatakan masih sangat cetek dibandingkan orang orang pintar nun jauh disana, atau bagaikan sebuah atom dibandingkan lautan ilmu Tuhan yang maha dahsyat.

Masih segar di pikiranku ketika aku ditanya oleh salah satu tetangga kos. Dia anak smk di bidang keperawatan.
"Mas, kalau penyakit ini obatnya gimana ya ?"
"Kalau penulisan status gizi bener gini ga mas?"
Dan aku hanya bisa tersenyum dan berkata "aduh maaf saya kurang tahu mba"
...

Ah, aku baru menyadari kalau aku ini sombong sekali. Menganggap semua yang kuraih adalah yang terbaik, dan pantas dihormati oleh orang lain. Padahal? belum apa apa.

Berkaitan dengan kuliah, sempat aku berfikir betapa kerasnya kuliah di jurusanku ini. Jangankan untuk bersantai atau liburan, menyempatkan untuk membaca literatur2 lain selain dari modul dan bahan kuliah pun susah. Ahh sibuknya..beginilah jadi mahasiswa kedokteran, inilah konsekuensi atas pilihan hidupku sendiri. Begitu pun ketika sudah disumpah nanti, kehidupan jadi dokter pun pasti jauh lebih berat. Kita dituntut untuk perfect dalam melayani masyarakat. Karena pada hakekatnya, saya ini nantinya bukanlah siapa siapa, hanyalah "pelayan masyarakat".
Dalam hati aku berfikir, masa mau melayani masyarakat dengan sekedarnya? dengan bekal yang seadanya? Bukankah ini cita citamu dari kecil bung??? Cita cita bung..
Hmm tidak mungkin.

Aku harus bekerja lebih keras lagi, dan harus makin merunduk . Makin merunduk seperti padi,.

Semoga teman teman sejawatku sepahaman denganku,

We are already at the age where we can't just sit and dream. We're at the age where we have to face up to our dreams properly.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar