Selasa, 28 Agustus 2012

Sedekah

Sedekah itu seperti buang air
Dilakukan untuk membersihkan diri
Setelah dilakukan tidak diingat ingat lagi

Minggu, 26 Agustus 2012

Hingga Ujung Waktu

Syair yang akan kulantunkan ketika aku sudah menikah nanti

Serapuh kelopak sang mawar
Yang disapu badai berselimutkan gontai
Saat aku menahan sendiri diterpa
Dan luka oleh senja

Semegah sang mawar di jaga
Matahari pagi bermahkotakan embun
Saat engkaub ada disini dan pekat pun berakhir sudah..

Akhirnya ku menemukanmu
Saat ku bergelut dengan waktu
Beruntungnya ku menemukanku
Jangan pernah berhenti memilikiku hingga ujung waktu

Setenang hamparan samudera dan tuan burung camar
takkan henti bernyanyi

Saat aku berkhayal denganmu
Dan janjipun terukir sudah
Jika kau menjadi istriku nanti
jangan pernah berhenti memiliku 
hingga ujung waktu


Jika kau menjadi istriku nanti
Fahami aku saat menangis
Saat kau menjadi istriku nanti
jangan pernah berhenti memiliku 
hingga ujung waktu

Ah.. lagu sheila on 7 memang selalu penuh makna

Eyang Putri Adalah Guruku



Oleh: Pandu Yuhsina Adaba

Nenek saya, Samsikin AD, penulis buku “Memoar Tentang November” dan “Di Tepi Takdir”. Dialah salah satu motivator saya dalam berbagai hal. Seorang mantan kepala sekolah yang kini sehari-hari menghabiskan masa  pensiunnya dengan menulis, berkebun, dan berdakwah. Tapi saya sedang tidak ingin bercerita mengenai aktivitas dakwah maupun berkebun nenek saya. Saya akan bercerita mengenai masa di mana nenek saya menjadi guru, dan bagaimana beliau mengharmoniskan pikiran serta tindakan.
      Nenek saya mulanya adalah seorang guru di desa Sidorejo, sebuah kecamatan di pedalaman Wonogiri, Jawa Tengah. Sebuah lokasi yang jauh dari tempat beliau berasal, karena nenek saya itu asli Srandakan, Bantul. Kata “Guru” bagi nenek saya berarti “digugu lan ditiru”, sanepan bahasa jawa yang artinya perkataanya dituruti, tindakannya diikuti. Itulah mengapa nenek saya berpikiran bahwa seorang guru haruslah berusaha menjadi contoh yang baik bagi muridnya, berusaha mengajar dengan bahasa yang dipahami muridnya, serta siap untuk mendidik dimanapun-kapanpun.
     Panggilan “Bu Guru” dari masyarakat sekitar adalah amanah. Artinya orang-orang yang memanggil memberikan kepercayaan untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka. Tak jarang diluar jam kerja, murid-murid berdatangan untuk menanyakan sesuatu terkait pelajaran, atau bahkan tentang kehudupan sehari-hari. Itu bukanlah beban bagi nenek saya. Menurut beliau, guru tidak hanya ada di ruang kelas namun juga di kehidupan bermasyarakat.
    Satu hal yang membuat saya penasaran dari beliau adalah: sepertia apa pandangannya terhadap pendidikan di masa “sertifikasi guru” ini? Nah pada suatu kesempatan, saya sempat menanyakan hal ini kepada beliau. Menurutnya, sekarang proses pendidikan sudah berkembang apalagi dengan didukung kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Hanya saja, spirit “digugu lan ditiru” di kalangan guru malah surut. Banyak guru sekarang mengajar dilandasi motivasi material dalam artian sebatas mencari nafkah.  Tidak sepenuhnya salah karena manusia memang diwajibkan mencari nafkah, namun tentunya tidak dengan melupakan esensi dari sebutan “guru” itu sendiri. Dalam predikat guru melekat kewajiban mendidik. Dan pendidikan adalah hal yang krusial bagi maju-mundurnya suatu masyarakat. Untuk itu, seorang guru haruslah mengajar dengan spirit “mencerdaskan kehidupan bangsa”, bukan sekedar memenuhi tuntutan mencari nafkah belaka.
      Seperti itulah pendapat sederhana dari nenek saya yang telah lebih dari 40 tahun menggeluti dunia pendidikan dari jaman Bung Karno hingga bergulirnya Reformasi. Mungkin sederhana atau bahkan dianggap utopis. Namun bagi saya seorang guru haruslah berpikiran seperti itu agar bisa mencetak generasi-generasi cerdas bagi bangsa ini.

LEBARAN


aku menulis ini dalam perasaan hampa
ah, sesaknya dada ini, semua terasa kosong
hiruk pikuk yang selalu kurindukan itu kembali berakhir
suara mungil yang berlari lari, tangisan manja
candaan cerdas , obrolan segar, serta hentakan dari para tetua itu , yang memarahi kami

kebersamaan itu baru saja lewat
kebersamaan yang kurindukan, dan mungkin juga kau rindukan?
memang benar kawan, lebaran bersama keluarga besar adalah nikmat hidup yang tak tergantikan,
tak tergantikan oleh apapun

setelah 11 dari 12 kepingan waktu setahun, kami akhirnyaberkumpul
setelah lelah berjalan bergontai menafkahi hidup, menuntut ilmu, bekerja keras di bulan yang lain,
ramadhan pun tiba
dan ketika bulan penuh ampunan ini usai bergulir, tibalah momen idulfitri itu.
Ya,  kami lebih suka menyebutnya lebaran.

Lebaran rutin kami adakan di rumah nenek kami, eyang UTI kamuI, ibu samsikin abu dal diri.
Setiap tahun.
Setiap tahun.
Rumah yang layaknya surga itu ada di bantul, salah satu daerah di jogja tentunya.
Gubuk ini dekat dengan masjid dan makam suami nenek kami - yang notabene adalah kakek kami semua, eyang kakung abu daldiri.

Rumah ini tidaklah mewah.
Hanya sebuah "gubuk" kecil yang terasnya dihiasi beberapa untaian pot pot berisi bunga yang indah.
Namun entah mengapa, rumah ini terasa begitu istimewa.
Rumah yang ketika kita memasukinya, hilanglah segala gundah di hati,
permasalahan dunia, hilang semua.



Kalau harus kutuliskan semua tentang keluargaku disini, mungkin tak begitu nyaman. pasti sangatlah panjang.
aku hanya ingin bercerita sedikit tentang 2 generasi saja dari silsilah keluarga besarku ini.

Eyangku memiliki 5 anak.
Pertama, dimulai dari anak pertama dari eyangku,yaitu Sri Purwaningsih. Biasa dipanggil "Bude ning". Ibu yang sangat melankolis ini adalah ibu dari kemala gautami hidayah (mbak nika), luqman hidayatullah(bung luqman) dan saya sendiri.Ibuku yang asli yogya (tentunya) dan bapakku yang asli aceh berdomisi di Kota kecil Tegal.
  Kedua, anak kedua. Yaitu Ari Darmastuti. biasa dipanggil "bude, bulek Ari". Bulekku yang sekarang sudah s3 di bidang sospol ini menikah dengan lelaki batak bernama om sahat. Mereka berdomisili di lampung. Dikaruniai 4 anak yaitu Sari indah ,Dwi Arida Harja (Rida),Chairul Tri, dan
Yuni kurnia. Dik Sari sudah menikah dan punya 3 orang anak. Karena memiliki papa yang sangat sanguinis, kurasa ini keluarga yang paling ramai dari ke 5 bersaudara.
Selanjutnya adalah Om manto. Saya lupa nama panjangnya ahaha.Lelaki yang cukup santai dan plegmatis ini menikah dengan bulek nining dan dikaruniai 3 anak. Pandu yuhsina, Annisa..(dik nisa) dan salma. keluarga yang paling medok karena tinggal di wonosari haha. sayang, keluarga ini sering tidak full kalau lebaran di jogja, karena harus 'sowan' juga ke keluarga bulek nining di cilacap. yang paling saya rindukan adalah kehadiran dik pandu yang mantan gitaris band itu haha.Dia salah satu inspirasi saya.
keempat, adalah Fitri haryani, biasa dipanggil bulek pipit.Kembali, wanita yang melankolis. Menikah dengan lelaki tegal, adhitya syaefuddin , yang biasa kupanggil om asep. mereka berdomisili di kemantran, kabupaten tegal. Punya anak bernama nafis.Keluarga yang paling dekat dengan tempat tinggalku.
Yang paling muda, Siti Nurul Qomariyah. Biasa dipanggil bulek nurul. beliau adalah seorang dokter.
menikah dengan om yoga dan berdomisili di jakarta. meskipun paling muda, bulekku ini berbadan paling bongsor dari yang lain. tingginya pun tak jauh beda dari tinggi badanku. punya anak bernama mufid, yang kenakalannya selalu aku rindukan.

begitulah silsilah singkat keluarga kami.
         setiap lebaran, mulai h-3 atau h-2, setiap keluarga dari segala penjuru akan menuju ke desa pleret,bantul untuk berkumpul bersama, melepas rindu dengan eyang Uti dan semua anggota keluarga lain.
Biasanya hari awal lebaran diisi dengan menyempatkan beribadah puasa di hari-hari terakhir, tentunya diisi
dengan acara buka puasa bersama. lalu hari puasa terakhir ditutup dengan malam takbiran.
Dulu ketika aku masih kecil, kami hampir sekeluarga pergi keluar menyaksikan parade takbir keliling di jogja. Ratusan lampion, alat musik, tarian tarian dan dendangan khas islami menyemarakkan malam itu. Pulangnya kami bermain kembang api bersama. oh kembang api yang kurindukan itu.
Esoknya, tentu diisi dengan sholat ied di lapangan wonokromo ,dilanjutkan dengan ziarah makam kakung. Dan acara yang paling ditunggu2 adalah SUNGKEMAN!! HAHA.
Kenapa? karena setelah sungkeman alias bermaaf-maafan, kami
para anak anak dan pemuda pemudi yang masih belum bekerja tentunya akan diberi amplop-amplop yang biasa kami sebut THR (Tunjangan hari raya), haha kayak buruh aja ya.
Hari hari selanjutnya tentu diisi dengan bersilaturahim ke sanak saudara dan jalan-jalan.
       Kalau masalah jalan-jalan sih kami tak terlalu "mewajibkan"nya. Tapi, yang paling wajib adalah acara ke gramedia. Entah mengapa, darimana asalnya, ritual ini selalu kami lakukan tiap tahun. Uang THR tadi pasti kami belanjakan untuk buku-buku kesukaan. Hmm, mungkin terdengar aneh. Jika hanya sekedar beli buku di toko buku sih kapan saja dimana saja bisa. Tapi kalau belinya waktu lebaran bareng keluarga, entah mengapa ada
kenikmatan sendiri.

yaa begitulah ritual tahunan kami. Dan dari sekian banyak ritual, ritual yang paling tidak aku suka adalah waktunya berpisah. Yak, biasanya h-3 h-4 atau h-5 lebaran kami pamit untuk pulang ke tujuan masing-masing. Mungkin dari sekian banyak lelaki di keluarga besar kami, akulah yang paling semelankolis ini, sesedih ini. Kadang aku berfikir, mengapa selalu ada perpisahan.Fananya duniu ini.

Tapi, beriring dengan usia, aku makin mengerti bahwa hidup harus terus berjalan. Kita hidup di dunia ini toh hanya numpang lewat, numpang mengedipkan mata. Hartaku, waktuku, keluargaku dan semuanya toh hanya anugerah titipan dari sang khalik.Dari tiada menjadi ada, lalu menjadi tiada lagi. Begitu pula kebersamaan ini. Generasi lintas generasi, aku dan saudara-saudaraku pun beranjak dewasa. Dik Sari sudah punya anak 3. Dik Pandu sudah kerja. Mbak nika sudah jadi dokter, tentunya sebentar lagi nikah. begitupun aku, mau tak mau akan merubah kehidupanku kelak.Yaa, entah. Ketika generasiku, generasi ke 3 sudah berkeluarga semua seperti dik Sari, apakah acara kumpul kumpul tiap tahun ini tetap ada? Entah. Wallahualam.

Aku hanya bisa berdoa "Ya rabb kumpulkanlah kami bersama

kelak di surga"

AH.. Aku selalu lihat foto foto lebaran ketika aku rindu

mereka.








Rabu, 01 Agustus 2012

19

Tidak ada hiruk pikuk kemeriahan. Tidak ada hadiah-hadiah dan pemberian khusus dari orang-orang terkasih. Mungkin karena saya anak manja dan bungsu, saya belum terbiasa dengan keadaan seperti ini. Semua terasa biasa saja. Mungkin ini masa peralihan hidup menuju tahap yang lebih dewasa.
Ya... baru saja berlalu kemarin. Ulang tahun. Sebenarnya saya kuragn suka disebut ulang tahun, karena apa sih yang diulang? Toh masa lalu itu ibarat kaca spion. Sesekali kita harus melihatnya untuk pelajaran hidup, untuk merasakan kenangan-kenangan indah. Namun melihatnya terus menerus akan membuat kita tertabrak, membuat kita tidak progresif dalam menjalani hidup.
Hmm.. hakekatnya usia tidaklah bertambah, melainkan terus berkurang.. hanya bilangannya saja yang bertambah. Hal yang biasa disebut "Ulang tahun" ini seharusnya dijadikan momentum perenungan diri. Karena bertambahnya bilangan usia itu pasti, namun kedewasaan itu pilihan.
Dan saya berdoa dalam diri semoga sisa hidup ini kian bermakna dan bermanfaat. Aamiin.

Doa yang selalu saya baca ketika shalat
"allahumma robbannas adzhibilba' sa isyfi antasysyafi la syifauka syifa' an la yughodiru saqoma"
Ya Allah tuhan segenap manusia, hilangkanlah sakit dan sembuhkan-lah, Engkaulah yang maha menyembuhkan, tiada kesembuhan kecuali oleh kesembuhanmu, kesembuhan yang tiada meninggalkan penyakit.

Semoga segala penyakit-penyakit hati serta keburukan yang ada dalam diri kita akan hilang dan terus berganti dengan kebaikan