Minggu, 26 Agustus 2012

Eyang Putri Adalah Guruku



Oleh: Pandu Yuhsina Adaba

Nenek saya, Samsikin AD, penulis buku “Memoar Tentang November” dan “Di Tepi Takdir”. Dialah salah satu motivator saya dalam berbagai hal. Seorang mantan kepala sekolah yang kini sehari-hari menghabiskan masa  pensiunnya dengan menulis, berkebun, dan berdakwah. Tapi saya sedang tidak ingin bercerita mengenai aktivitas dakwah maupun berkebun nenek saya. Saya akan bercerita mengenai masa di mana nenek saya menjadi guru, dan bagaimana beliau mengharmoniskan pikiran serta tindakan.
      Nenek saya mulanya adalah seorang guru di desa Sidorejo, sebuah kecamatan di pedalaman Wonogiri, Jawa Tengah. Sebuah lokasi yang jauh dari tempat beliau berasal, karena nenek saya itu asli Srandakan, Bantul. Kata “Guru” bagi nenek saya berarti “digugu lan ditiru”, sanepan bahasa jawa yang artinya perkataanya dituruti, tindakannya diikuti. Itulah mengapa nenek saya berpikiran bahwa seorang guru haruslah berusaha menjadi contoh yang baik bagi muridnya, berusaha mengajar dengan bahasa yang dipahami muridnya, serta siap untuk mendidik dimanapun-kapanpun.
     Panggilan “Bu Guru” dari masyarakat sekitar adalah amanah. Artinya orang-orang yang memanggil memberikan kepercayaan untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka. Tak jarang diluar jam kerja, murid-murid berdatangan untuk menanyakan sesuatu terkait pelajaran, atau bahkan tentang kehudupan sehari-hari. Itu bukanlah beban bagi nenek saya. Menurut beliau, guru tidak hanya ada di ruang kelas namun juga di kehidupan bermasyarakat.
    Satu hal yang membuat saya penasaran dari beliau adalah: sepertia apa pandangannya terhadap pendidikan di masa “sertifikasi guru” ini? Nah pada suatu kesempatan, saya sempat menanyakan hal ini kepada beliau. Menurutnya, sekarang proses pendidikan sudah berkembang apalagi dengan didukung kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Hanya saja, spirit “digugu lan ditiru” di kalangan guru malah surut. Banyak guru sekarang mengajar dilandasi motivasi material dalam artian sebatas mencari nafkah.  Tidak sepenuhnya salah karena manusia memang diwajibkan mencari nafkah, namun tentunya tidak dengan melupakan esensi dari sebutan “guru” itu sendiri. Dalam predikat guru melekat kewajiban mendidik. Dan pendidikan adalah hal yang krusial bagi maju-mundurnya suatu masyarakat. Untuk itu, seorang guru haruslah mengajar dengan spirit “mencerdaskan kehidupan bangsa”, bukan sekedar memenuhi tuntutan mencari nafkah belaka.
      Seperti itulah pendapat sederhana dari nenek saya yang telah lebih dari 40 tahun menggeluti dunia pendidikan dari jaman Bung Karno hingga bergulirnya Reformasi. Mungkin sederhana atau bahkan dianggap utopis. Namun bagi saya seorang guru haruslah berpikiran seperti itu agar bisa mencetak generasi-generasi cerdas bagi bangsa ini.

1 komentar:

  1. Assalamualaikum
    Salam untuk Eyang Putri Samsikin AD ya, dari saya Luluk dari Surabaya. Saya pembaca buku Eyang Putri.

    BalasHapus