Jumat, 23 September 2011

DERMA ITU KAIL, BUKAN IKAN

I believe the children are our are future
Teach them well and let them lead the way
Show them all the beauty they possess inside
Give them a sense of pride to make it easier
Let the children's laughter remind us how we used to be...

Pemutar audio di ponsel itu tak henti berputar. Senandung Greatest love of all  dan Overjoyed milik  Whitney Houston dan Stevie Wonder berbisik merdu  di ujung earphone. Liburan begini memang enak bagi penulis untuk  bersantai di kamar, internetan sambil mendengarkan musik soft. Santai, damai rasanya. Setelah lulus dari sekolah menengah atas dan dinyatakan diterima di perguruan tinggi, kebanyakan alumnus lebih banyak menghabiskan waktunya dirumah, bersantai seperti ini. Pelajaran, tugas apalagi ulangan sudah lama terlewati. Masa transisi dari lulus sampai kuliah memang cukup lama. Bagi sebagian orang, sampai bingung “mau cari kerjaan apa”.

Sedang enak-enaknya bersantai, suasana jadi berubah begitu lagu kedua habis terputar. Penulis menemukan sebuah notes tentang Lomba Esai di sebuah jejaring sosial. Dengan cepat kursor digerakkan, ingin tahu apa isinya. Ternyata  benar, ini diperuntukkan bagi calon mahasiswa dan mahasiswa. “ini giliranku” batin penulis. Langsung saja microsoft word disiapkan. Tangan bersiap untuk mengetikkan sesuatu. Tapi..

Tiba-tiba penulis berfikir. Tentang apa ya?  Sejenak memutar otak. Jika tema yang dibawa seputar ospek dan kontroversinya, itu sudah lumrah dan pasti banyak yang menuliskannya. Penulis tidak suka sesuatu yang mainstream walaupun nantinya bakal disukai. Hm..mencoba beralih topik. Kali ini yang terbersit adalah masalah dunia pendidikan. Penulis masih sangat ingat ketika mendengar banyak teman seangkatan yang memutuskan untuk tidak mengecap bangku kuliah karena masalah biaya. Juga bagaimana orangtua penulis yang langsung menolak ketika ditawari langsung oleh seorang calo untuk masuk ke perguruan tinggi dengan imbalan biaya besar. Tema yang saat itu terfikir adalah tentang dunia pendidikan yang tak berpihak pada kaum miskin. Tapi apa mau dikata, ini tema yang berat. Selain tak punya data-data yang valid, jelas kontroversial untuk mengkritik institusi tertentu walaupun disamarkan. Maka tema-tema itu penulis urungkan. Saatnya mencari pencerahan, bersantai sejenak.


“Ratusan orang berdesak-desakan mengantri bantuan beras dari seo...”
“Klik “
“Demi sedekah 2 ribu rupiah., anak-anak di daerah.....”
“klik”

Layar televisi kembali penulis matikan. Alih-alih dapat hiburan, suguhan memuakkan yang tersaji.  Semua berita menampilkan berita yang membuat kuping panas. Mulai dari harga sembako yang irasional, pejabat korup yang lari keluar negeri, sampai pembagian zakat dan sedekah yang rusuh.

Setelah melihat tayangan televisi diatas, penulis menjadi tergelitik akan suatu kisah.  Kisah ini dialami penulis beberapa tahun silam ketika masih di bangku sekolah dasar. Waktu itu adalah penghujung ramadhan. Orangtua penulis berniat memberikan sedekah berupa bantuan uang sekedarnya yang dibagikan secara langsung kepada masyarakat sekitar. Amplop-amplop kecil berisi uang puluhan ribu disiapkan sekedarnya. Saat mempersiapkan semuanya, yang dibayangkan akan datang hanyalah tetangga-tetangga dekat dan memang kenal dengan orangtua penulis. Namun celaka tujuh belas. Yang terjadi adalah halaman rumah penuh oleh puluhan orang, berjejal,  tak dikenal, yang mengaku miskin. Entah karena info yang  terlalu meluas atau apapun itu, segera saja acara sedekah itu dihentikan dan rumah penulis pun diteriaki massa secara tak henti sampai larut malam.Malam yang cukup mencekam. Penulis yang saat itu masih belum cukup umur tentu sedikit shock  atas apa yang terjadi. Pikiran penulis yang masih polos pada waktu itu bertanya-tanya , “inikah yang disebut kegiatan berderma?”
Penulis menyadari telah mendapat satu topik. Ya, seputar kegiatan berderma dan keterkaitannya dengan masyarakat miskin di indonesia.

Kegiatan berderma dalam bahasa yang lebih global disebut filantropi. Ya, kata yang mungkin asing bagi sebagian orang, Filantropi. Mengapa kata ini yang dipilih mungkin karena terdengar berkelas namun sangat familiar di telinga penulis. Haha. Sejenak terdengar seperti aktivitas pengoleksi perangko. Ah, bodoh. Itu filateli.  Menurut ilmuwan ternama Albert einstein , salah satu hal tersulit dalam kajian ilmiah adalah mendefinisikan sesuatu. Maka dari itu, secara polos penulis yang  tak paham sepenuhnya makna filantropi, langsung googling dengan keyword “filantropi”.
Berbagai jawaban muncul. Wikipedia mengatakan bahwa “Filantropi dari bahasa Yunani, philein, "cinta" dan anthropos, "manusia", adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama (manusia) sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain. Istilah ini umumnya diberikan pada orang-orang yang memberikan banyak dana untuk amal. Seorang ini biasanya seorang kaya raya yang sering menyumbang kaum miskin.”.

Ada juga yang mengatakan Filantropi artinya adalah bersedekah melalui zakat, infak, zakat yang merupakan kewajiban bagi umat yang sudah mampu. Yang ini lebih mengerucut ke dunia islam. Penulis lebih tertuju pada definisi yang kedua, sebab lebih spesifik dan familiar.

Sebenarnya, apa pentingnya kegiatan berderma ini? Sebagai bentuk pengakuan sosial bagi sang pemberi, sebagai budaya , atau hanya norma pada umat beragama yang hampa makna? Jelas bukan itu semua goalnya. Aktivitas filantropi sebenarnya lebih bertujuan ke arah keseimbangan sosial. Sebuah aktivitas untuk mengurangi gap antara si kaya dan si miskin. Filantropi dapat dikatakan serbagai salah satu pilar ekonomi suatui bangsa. Bahkan Prof Dr.Komaruddin Hidayat  ( Rektor UIN Jakarta ) dalam buku Filantropi Dalam Masyarakat Islam berucap “Filantropi merupakan bagian dari kekuatan penyangga civil society atau masyarakat madani. Oleh karena itu siapa pun yang memiliki kepedulian terhadap civil society tidak akan mengabaikan peranan filantropi”

Lalu, bagaimanakah filantropi di indonesia? Indonesia sebagai negara muslim terbesar jelas tidak asing dengan rukun islam pertama yang berbunyi kewajiban berzakat. Zakat merupakan sebuah bentuk filantropi dimana umat muslim diwajibkannya. Kita juga pasti tak asing dengan istilah infak atau sedekah dimana bentuknya hampir sama seperti zakat namun tak ada unsur wajib. Tujuan zakat dan sedekah juga tentu senada dengan apa yang diuatarakan bapak Komaruddin Hidayat tentang filantropi tadi. Kenyataan itu mengesahkan bahwa negara ini tidak asing dengan aktivitas berderma.

Dalam pelaksanaannya,aktivitas filantropi di indonesia sebenarnya  tidak sporadis seperti kisah penulis di paragraf sebelumnya. Di negara ini sudah lama dikenal adanya lembaga filantropi seperti Badan Amil Zakat dan Infak Sedekah ( BAZIS) , dimana badan ini bertugas menampung zakat dari pemberi zakat lalu mendistribusikan kepada masyarakat yang berhak menerima.

Dengan negara yang mayoritas penduduknya muslim dan tidak buta akan zakat ditambah sudah merebaknya lembaga yang mendukung di segala penjuru, seharusnya masalah sosial seperti kemiskinan dapat sedikit demi sedikit teratasi. Namun realitanya? Data penurunan kemiskinan dan pengentasan pengangguran yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS)  dari 31,02 juta jiwa pada Maret 2010 menjadi 30,02 juta (Maret 2011) pun sepertinya hanyalah kumpulan angka-angka. Selain jumlahnya yang tak signifikan, data tersebut menjadi bias seperti diungkapkan Dahnil Anzar (Ekonom dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa). Dahnil mengungkapkan bahwa fakta di lapangan menunjukkan masalah kemiskinan sama sekali belum tuntas. Temuannya di lapangan, tak jauh dari Ibukota, tepatnya di Kabupaten Tangerang, menjadi bukti lain soal kemiskinan.

Dari sepuluh rumah keluarga miskin di Kabupaten Tangerang, khususnya bagian Utara seperti daerah Mauk, Sukadiri dan Kronjo, dua keluarga diantaranya memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan mental akibat kemiskinan. Temuan berikutnya, sambung Dahnil, adanya fakta bahwa keluarga miskin tidak memiliki akses pelayanan kesehatan dan pendidikan yang layak. Pertanyaannya, mengapa aktivitas filantropi di indonesia belum mampu bicara banyak dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin?

Pola pikir kita itu instan. Penulis ingin mengingatkan kita bagaimana grup-grup musik melayu yang numpang tenar dengan mencipta lagu-lagu sendu yang laris dengan RBTnya, lalu menghilang. Lalu ingatlah juga  kasus Siami dan anaknya (kasus mencontek massal ) di tandes, Surabaya, pikirkan bagaimana kecurangan para peserta UN yang ingin cepat lulus SMA dengan memesan kunci jawaban tanpa harus belajar.  Jangan lupa juga timnas sepakbola kita yang bermimpi masuk world cup dengan menaturalisasi pemain-pemain ber skill tinggi tanpa memperbaiki pembinaan pemain muda. Coba pikirkan betapa instannya cara pandang kita dalam menggapai segala sesuatu
Pasti anda bertanya, “apa kaitanya  mencontek massal, sepakbola dengan Filantropi? Ah. Temanya terlalu melebar sana sini.Esai yang nggak bermutu. “

Eits, tunggu dulu. Kita coba berfikir analog saja. Contoh  diatas sebenarnya hanya merefleksikan paradigma masyarakat kita yang serba instan. Jika paradigmanya sudah begitu, maka segala segi kehidupan, termasuk aktivitas ekonomi, akan ikut pola yang sama.  Mau bukti ? Tidak asing di telinga kita tentang program  pengentasan kemiskinan pemerintah bertajuk  dengan BLT (Bantuan Langsung Tunai) . Rakyat tinggal mengaku miskin, dapat kupon, antre, lalu dapat segepok uang. Program ini dituding  makin memelihara ketergantungan rakyat miskin itu sendiri pada bantuan. Ya, suatu kata yang menjadi biang terpeliharanya kemiskinan mungkin adalah “ketergantungan”. Ingin jauh dari miskin, ingin yang instan. Pemerintahnya punikut-ikutan  begitu. Ingin memberantas kemiskinan, ingin yang instan. Lha, entah rakyat entah pemerintah koq sama-sama instan?
Berdasarkan survei yang dilakukan Center of the Study of Religion and culture ( CSRC ) UIN Jakarta pada tahun 2005 menunjukkan bahwa dana zakat,infak,sedekah di indonesia mencapai Rp. 19,3 triliun setiap tahunnya! Namun jumlah itu belum efektif mengentaskan kemiskinan. Mengapa? Sebab jumlah yang diserap oleh lembaga-lembaga filantropi modern untuk kemudian dikelola menjadi kegiatan perekonomian yang produktif hanya dibawah 10% nya. Sisanya hanya berupa bantuan sporadis yang dilakukan individu baik melalui bantuan langsung ke rumah-rumah, di trotoar jalan dsb. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa bantuan yang diberikan adalah bantuan habis pakai alias seketika saja. Bagaimana mungkin sekarung beras 10kg yang akan habis dalam beberapa hari bisa mengurangi beban orang miskin untuk hidup seterusnya?


Berdasar analisis itulah penulis mencoba meluruskan cara pandang kita yang salah dalam berderma. Ibarat memancing, dalam melakukan aktivitas filantropi, kita seharusnya memberikan kail, bukan ikan. Kasarnya lagi, ketika kita bertemu seorang miskin di jalanan, janganlah memberinya sepeser uang, tapi berilah ia pekerjaan supaya mampu mencari uang secara mandiri untuk hidupnya kelak. Paradigma sepeti inilah yang mestinya kita bangun bersama. Bagaimana bentuk-bentuk filantropi model “kail “ ini berjalan?

Lembaga-lembaga filantropi modern dewasa ini sudah mulai menerapkan konsep derma yang lain pada fakir miskin. Inilah yang patut kita jadikan perbandingan. Mereka tidak lagi sekedar memberi bantuan berupa nasi bungkus, beras, buka puasa bersama, atau uang untuk makan 1-2 hari. Tetapi, bantuan dikelola,diwujudkan dalam wujud beasiswa,balai kesehatan dan bantuan biaya produksi. Contoh nyata dirasakan oleh para peternak domba di Garut,Jabar. Atep, salah satu peternak menyatakan pada 2006 diberi bantuan dompet dhuafa Republika dan tahun 2007 berupa 2 ekor domba beserta kandangnya. Pada tahun 2007, ia sudah memiliki 6 ekor induk domba, dimana setelah berkembang, menggunakan sistem pembagian hasil 60-40. Ia menyatakan, di kampungnya sudah ada belasan warga yang mendapat manfaat dari bantuan produktif semacam ini.

Masih banyak contoh konkrit keberhasilan filantropi model “kail” ini. Para pengusaha kecil di kendal,jateng menerima bantuan dari BAPELURZAM (Badan Pelaksana Urusan Zakat Muhammadiyah ) tidak hanya berupa pinjaman modal, namun juga pembinaan manajemen supaya mereka nantinya dapat bersaing di pasar. Masjid al markaz makassar , membangun baitul mal wa tamlil (BMT) untuk mengelola dana zakat,infak dan sedekah untuk menjalankan kegiatan ekonomi rakyat yang produktif. Salah satu nasabah BMT al markaz ( pedagang make up) berujar, “Dulu saya awalnya mulai dari 500 ribu. Dua kali pengambilan jadi 1juta. Sampai beberapa tahun itu ya alhamdulillah sekarang punya dua kios dan wartel. Melalui bantuan semacam ini, saya merasakan berkahnya”.

            Bukti konkrit diatas semakin menegaskan, bahwa untuk mengangkat taraf hidup masyarakat kita, yang kita butuhkan adalah bantuan untuk kegiatan ekonomi yang produktif (kail), alih-alih bantuan konsumtif yang menciptakan ketergantungan ( ikan ). Kita terutama kaum muda sudah seharusnya melek akan konsep filantropi semacam ini. Dengan mulai menanamkan konsep filantropi “kail” ini di lingkungan terdekat kita, diharapkan kita ikut membantu pemerintah dalam mengimplementasikan pasal 34 ayat 1 UUD 45, “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”.   Tak perlulah ramai-ramai membangun masjid megah. Tak perlulah bergagah-gahan mencalonkan diri jadi wakil rakyat kalau nantinya hanya menggombal hampa. Mulailah dengan gerakan yang sederhana namun lugas. Kalau kita tergolong mampu , bantulah sanak saudara kita, tetangga terdekat kita bukan dengan segepok uang atau sekarung beras. Bantulah dengan bantuan produktif, bantuan yang menjadikan mereka mandiri dalam menjalankan roda hidup mereka, roda ekonomi mereka.  Lembaga filantropi modern, teruslah bermunculan, teruslah berkembang. Penulis yakin, jika kita mau melakukan ini bersama, kita bisa. Bersama kita bisa. Gitu tho pak SBY ?


Tegal, 7 agustus 2011  23:51 WIB
Mumtaz Maulana Hidayat


http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/politik-nasional/479-kritik-terhadap-komodifikasi-pendidikan
http://id.wikipedia.org/wiki/Filantropi
http://www.books.web.id/filantropi-dalam-masyarakat-islam
http://www.gramediashop.com/book/detail/9789792735482
http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan-01jul10.pdf
http://www.ipotnews.com/index.php?level2=newsandopinion&level3=&level4=INDONESIA&id=474088&popular=Y
http://www.rumahbuku.net/shop/detail/100-kesalahan-dalam-sedekah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar